Nabi Shalih ‘alaihissalam diutus kepada
satu kabilah masyhur, yang
disebut kabilah Tsamud. Kabilah Tsamud tergolong bangsa Arab al-’Aribah
yang tinggal di daerah bebatuan antara Hijaz dan Tabuk. Mereka adalah
kabilah yang datang setelah kaum ‘Ad dan menyembah berhala. Lalu Allah
ta’ala mengutus kepada mereka seorang nabi dari kalangan mereka, yaitu
hamba Allah dan Rasul-Nya yang bernama
Shalih. Ia menyeru mereka untuk menyembah Allah, yang tidak ada sekutu
bagi-Nya. Menyeru untuk menanggalkan berhala-berhala dan
tandingan-tandingan Allah serta tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu
apa pun. Maka di antara mereka ada yang beriman, namun mayoritasnya
kafir. Mereka menyakiti Nabi Shalih ‘alaihissalam dengan perkataan dan
perbuatan, bahkan mereka berniat membunuhnya dan membunuh unta yang
dijadikan oleh Allah ta’ala sebagai hujjah kepada mereka.
Para
ahli tafsir menyebutkan, pada suatu hari kaum Tsamud berkumpul di tempat
perkumpulan mereka. Lalu Rasulullah Shalih ‘alahissalam datang
menghampiri mereka, lantas menyeru mereka kepada Allah ta’ala,
memperingati, mengingatkan, serta menasehati mereka. Mereka berkata
kepada Shalih, “Sanggupkah engkau mengeluarkan untuk kami seekor unta
betina dari batu ini- seraya menunjukkan sebongkah batu- dengan
ciri-ciri seperti ini dan seperti itu?” Kemudian mereka menyebutkan
ciri-ciri unta yang mereka inginkan, di samping itu unta tersebut mesti
dalam keadaan bunting (sepuluh bulan) lagi berbadan panjang. Nabi Shalih
‘alaihissalam menjawab, “Beritahukan kepadaku, jika aku sanggup
memenuhi permintaan kalian sesuai dengan yang kalian inginkan, apakah
kalian akan beriman dengan apa yang aku bawa dan membenarkan apa-apa
yang dengannya aku diutus?” Mereka menjawab, “Ya.” Nabi Shalih
‘alaihissalam pun mengambil sumpah dan janji mereka atas hal itu, lalu
ia beranjak menuju tempat shalatnya dan shalat di sana dengan ikhlas
karena Allah ‘azza wa jalla sesuai dengan apa yang telah ditetapkan
baginya, kemudian berdoa kepada Rabb-Nya agar Dia mengabulkan permintaan
mereka. Maka Allah ta’ala memerintahkan batu besar tersebut untuk
terbelah dan mengeluarkan seekor unta betina yang besar lagi bunting,
sesuai dengan permintaan mereka.
Tatkala mereka melihatnya,
mereka menyaksikan perkara yang agung, pemandangan yang mengagumkan,
kemampuan yang luar biasa, bukti yang nyata, dan penjelasan yang terang.
Maka banyak dari mereka yang beriman, namun lebih banyak lagi yang
tetap dalam kekafiran, kesesatan, dan pembangkangannya.
Mereka
bersepakat membiarkan unta betina tersebut tinggal di tengah-tengah
mereka, membiarkannya merumput di tanah mana pun yang ia kehendaki dari
lahan milik mereka, serta membiarkannya minum hari demi hari. Ada yang
mengatakan bahwa mereka meminum susu unta tersebut sampai mencukupi
mereka.
Setelah kondisi ini berlangsung lama, maka pembesar
mereka mengadakan perkumpulan dan bersepakat untuk menyembelih unta
betina tersebut. Adapun yang bertindak sebagai pembunuh unta tersebut
adalah pemimpin mereka yang bernama Qudar bin Salif. Ia seorang
laki-laki yang berkulit merah kebiru-biruan, dan berbadan pendek. Ada
yang mengatakan bahwa ia adalah hasil anak zina dari seorang laki-laki
yang bernama Shaiban. Perbuatannya itu berdasarkan atas kesepakatan
mereka bersama.
Mereka pun pergi mengawasi unta betina
tersebut, seolah-olah ia seperti orang yang memiliki kemampuan
berpidato. Lalu Qudar membidikkan anak panahnya hingga tepat mengenai
tulang betis unta tersebut. Dengan segera Qudar bin Salif mendatanginya
dan menghunuskan pedangnya ke arahnya. Ia berhasil memutuskan urat
ketingnya (urat di atas tumit) sehingga unta tersebut jatuh tersungkur
di atas tanah. Unta tersebut bersuara keras memperingatkan anaknya.
Kemudian, Qudar melukai leher unta betina tersebut dan menyembelihnya,
sedangkan anak unta tersebut berlari menaiki gunung dan bersuara tiga
kali.
Atas perbuatan itu, Nabi Shalih ‘alaihissalam berkata
kepada mereka: “Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga
hari.” (QS. Hud: 65) Namun, mereka juga tidak mempercayai ancaman serius
tersebut. Bahkan di sore harinya mereka berniat membunuhnya, sehingga
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengirimkan bebatuan atas mereka yang hendak
membunuh Shalih yang membinasakan mereka sebelum dihancurkannya seluruh
kaumnya. Pada hari Kamis pagi -hari pertama penantian turunnya adzab-,
wajah-wajah kaum Tsamud berubah menjadi kekuning-kuningan. Dan di saat
sore harinya mereka semua menyeru, “Telah berlalu satu hari dari betas
waktunya.”
Kemudian pada hari kedua -yaitu hari jum’at- wajah
mereka berubah menjadi kemerah-merahan. Dan pada hari yang ketiga -yaitu
hari Sabtu- berubah menjadi kehitam-hitaman. Di hari Ahad Shubuh mereka
bersiap-siap, menuai datangnya adzab. Dan ketika matahari terbit,
terdengarlah oleh mereka suara pekikan dari langit serta gempa dari arch
bawah mereka sehingga nyawa-nyawa mereka pun melayang.
Imam
Ahmad meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Umar berkata, “Ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang bersama beliau
singgah di Tabuk, beliau menyinggahkan mereka di Hijr bekas perumahan
kaum Tsamud. Lalu orang-orang pun mengambil air dari sumur-sumur yang
dahulunya dijadikan tempat minum oleh kaum Tsamud. Sebagian dari air
tersebut mereka gunakan untuk adonan roti dan sebagiannya lagi
dipanaskan diperiuk-periuk untuk memasak daging. Namun, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan mereka membuang air yang
terdapat di periuk-periuk tersebut dan adonannya diberikan kepada unta.
Kemudian, Rasulullah membawa mereka hingga sampai di sumur tempat unta
Nabi Shalih pernah minum darinya. Dan beliau melarang mereka untuk masuk
ke daerah kaum yang telah diadzab, seraya bersabda, “Sesungguhnya aku
khawatir kalian akan tertimpa seperti apa yang pernah menimpa mereka,
maka janganlah kalian masuk ke tempat mereka.” Dan pada sebagian riwayat
disebutkan, “Kecuali jika kalian dalam kondisi menangis.” Dan dalam
satu riwayat, “jika kalian tidak mampu menangis, maka berpura-puralah
menangis.” [HR.Imam Ahmad, 5712]
Semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada beliau.
Sumber: Mukhtasar Bidayah wan Nihayah – Ibnu Katsir, Diringkas oleh Syaikh Ahmad Khani, Penerbit Pustaka as Sunnah
Artikel: www.KisahIslam.net
INGIN KUDEKAP ENGKAU DALAM UKHUWAH
-
(Sebuah Renungan diri)
Karena ikatan kita lemah... Saat keakraban kita merapuh...
Saat salam terasa menyakitkan...
Saat kebersamaan serasa siksaan ..
Saat ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar