Allah subhanahu wa ta’ala mengutus Nuh ‘alaihissalam
ketika berhala dan
para thaghut disembah dan orang-orang mulai terjerumus ke dalam
kesesatan dan kekufuran. Allah mengutusnya sebagai rahmat bagi para
hamba-Nya. Nuh ‘alaihissalam adalah rasul pertama yang diutus kepada
penghuni bumi.
Tatkala Allah mengutus Nuh ‘alaihissalam ia menyeru kaumnya untuk mengesakan
peribadatan kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya. Menyeru agar
mereka tidak menyamakan peribadatan kepada Allah dengan patung-patung,
berhala, dan thaghut. Mereka harus mengakui (meyakini) keesaan Allah
serta mengakui bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dan tidak ada
Rabb selain-Nya.”
“Dan mereka berkata: ‘Janganlah sekali-kali
kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula
Suwaa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr. “‘ (QS. Nuh: 23).
Dari Ibnu
‘Abbas, ia berkata, “Ini merupakan nama-nama orang yang shalih di
kalangan kaum Nuh. Ketika mereka meninggal, syetan membisikkan kepada
kaum mereka untuk memasang patung di majelis-majelis yang dahulu biasa
mereka gunakan. Mereka namakan patung-patung itu dengan nama-nama
orang-orang shalih tersebut. Mereka pun melakukannya dan saat itu
patung-patung tersebut belum disembah. Hingga setelah mereka meninggal,
dan ilmu mulai punah, maka patung-patung itupun disembah.
Nabiyullah Nuh ‘alahissalam menyeru mereka kepada Allah dengan beragam
metode dakwah, baik di waktu malam atau siang hari, sembunyi-sembunyi
maupun terang-terangan, dengan metode targhib (anjuran) dan tarhib
(ancaman), namun semua metode ini tidak membuahkan hasil. Bahkan
kebanyakan mereka tetap berada dalam kesesatan, kesewenang-wenangan,
serta menyembah patung dan berhala. Mereka menampakkan permusuhan kepada
Nuh serta merendahkannya. Merendahkan orang-orang yang beriman
kepadanya serta mengancam mereka dengan rajam dan pengusiran. Mereka
mampu merenggut sebagian orang-orang yang beriman dan berhasil mencapai
tujuannya. Waktu terus berjalan dan perdebatan antara Nuh ‘alaihissalam
dan kaumnya terus berkelanjutan, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman:
“Ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang
lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah
orang-orang yang lalim.” (QS. Al-Ankabut: 14)
Meskipun dengan
rentang waktu yang sangat panjang ini, namun sangat sedikit sekali
kaumnya yang mau beriman kepadanya. Setiap kali pergantian generasi,
maka mereka senantiasa berwasiat kepada generasi berikutnya untuk tidak
beriman kepada Nuh, berupaya memeranginya serta menyelisihinya. Karakter
yang mereka miliki adalah enggan beriman dan mengikuti kebenaran.
Nabiyullah Nuh ‘alaihissalam mendoakan keburukan untuk mereka, suatu
doa yang muncul dari kemarahan karena Allah. Allah pun mengabulkan
permohonannya. Maka, saat itulah Allah memerintahkan Nuh untuk membuat
bahtera. Bahtera tersebut terdiri dari tiga tingkat, yang tiap-tiap
tingkatnya memiliki ketinggian sepuluh hasta. Tingkat bawah
diperuntukkan untuk hewan ternak dan binatang buas. Bagian tengah untuk
manusia, sedangkan tingkat atas untuk bangsa burung.
Badai
taufan melanda seluruh hamparan bumi: “Dan Nuh memanggil anaknya.” (QS.
Hud: 42) Nama anak Nabi Nuh ini adalah Yam, saudara Sam, Ham, dan
Yafits. Ia adalah seorang yang kafir, maka ia pun binasa bersama
orang-orang yang binasa. Ketika penduduk bumi telah binasa dan tidak ada
seorang pun yang tersisa darinya dari para penyembah selain Allah, maka
Allah memerintahkan bumi untuk menelan airnya dan memerintahkan langit
untuk menahan air hujan.
Tatkala air telah surut dari permukaan
bumi dan memungkinkan lagi untuk bekerja dan tinggal di atasnya, maka
atas perintah Allah, Nabi Nuh ‘alaihissalam turun dari bahtera yang
berhenti di atas puncak Gunung al-Judi, yaitu gunung yang berada di
tanah jazirah yang sudah teramat masyhur. Orang-orang yang berada di
atas bahtera bersama Nuh berjumlah delapan puluh orang beserta
keluarganya. Ketika Nuh turun ke kaki Gunung al-Judi, ia membangun satu
perkampungan yang ia namakan dengan perkampungan tsamanin (delapan
puluh), sehingga datang suatu hari ketika lisan-lisan mereka mengucapkan
bahasa yang bercampur aduk sebanyak delapan puluh bahasa. Salah satunya
adalah bahasa Arab. Sebagian mereka tidak memahami pembicaraan sebagian
yang lain, sehingga Nuh ‘alaihissalam menjadi juru bahasa di antara
mereka.
Allah berfirman:
“Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.” (QS. Ash-Shaffat: 77)
Semua jenis keturunan Adam yang berada di muka bumi saat ini, nasabnya
kembali kepada tiga anak Nuh, yaitu: Sam, Ham, dan Yafits.
Dari
Samurah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sam bapak bangsa
Arab, Ham bapak bangsa Habasyah, sedang Yafits bapak bangsa Romawi.”[1]
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Nabiyullah Nuh ‘alaihissalam
ketika menghadapi kematian, ia berkata kepada anaknya, ‘Sesungguhnya aku
wasiatkan kepadamu bahwa aku memerintahkan kepadamu dua hal dan
melarangmu pula dari dua hal. Aku perintahkan kepadamu untuk mengucapkan
kalimat La ilaha illallah; karena iika sekiranya tujuh langit dan tujuh
lapis bumi diletakkan di satu telapak tangan dan kalimat la ilaha
illallah diletakan di telapak tangan yang lain, niscaya akan lebih berat
kalimat la ilaha illallah. Dan (aku perintahkan kepadamu) mengucapkan
kalimat: ‘Subhanallah wa bihamdih’, karena kalimat tersebut adalah
shalatnya (doanya) segala sesuatu dan karenanya makhluk diberi rezeki.
Aku melarang dirimu dari berbuat syirik dan berlaku sombong.’ [2]
Mengenai kubur Nabi Nuh, Ibnu Jarir dan lainnya meriwayatkan bahwa
kubur Nuh berada di Masjidil Haram. Pendapat ini lebih kuat bila
dibandingkan dengan pendapat para ulama muta’akhkhirin yang menyatakan
bahwa kuburannya berada di daerah al-Biqa yang sekarang dikenal dengan
sebutan Kark Nuh. Wallahu a’lam bis shawwab.
Foot Note:
[1] HR. At-Tirmidzi dalam sunannya (3155).
[2] HR. Imam Ahmad dalam Musnadnya (No 6265).
Sumber: Mukhtasar Bidayah wan Nihayah – Ibnu Katsir, Diringkas oleh Syaikh Ahmad Khani, Penerbit Pustaka as Sunnah
Artikel: www.KisahIslam.net
INGIN KUDEKAP ENGKAU DALAM UKHUWAH
-
(Sebuah Renungan diri)
Karena ikatan kita lemah... Saat keakraban kita merapuh...
Saat salam terasa menyakitkan...
Saat kebersamaan serasa siksaan ..
Saat ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar